Hidup Seorang Ibu dan Anak .
Ibu
Desak Ketut Sayang berusia 46 tahun yang hidup dengan anaknya disebuah rumah
kecil. Ketika saya datang ke rumahnya dia sedang makan nasi basi yang diberikan
oleh tetangganya kemarin, dia mengatakan kasian kalau dibuang. Tidak hanya itu
nasinya tidak berisi lauk apapun hanya nasi basi dan minumnya dia mengambil di
sungai dan direbus. Dia tidak menghiraukan air itu bekas cucian siapa yang
penting dia dapat minum air. Ibu Desak Ketut Sayang berasal dari Br.
Tegallinggah, Desa Bedulu, Kec. Blahbatuh, Kab. Gianyar yang dinikahi oleh
seorang laki-laki bernama Dewa Made Sugi yang berasal dari Br. Tusari, Bitra.
Namun pada usia 40 tahun Dewa Made Sugi meninggal karena kanker yang
dideritanya. Sejak kematian suaminya, hidup Desak Ketut Sayang mulai diguncang
masalah, dimulai dari anaknya yang sering dipukul oleh mertuanya sehingga anaknya
menangis menahan rasa sakit. Dari saat
itulah melihat anaknya sering menangis, dia berencana kembali ke rumahnya di
Tegallinggah. Namun, masalah ke dua muncul adiknya menentang dia untuk tinggal di rumah
aslinya. Jalan keluar pun datang, dia meminjam sedikit tanah milik saudaranya
untuk tempat tinggal dia dan anaknya. Tanahnya berada di tempat yang kumuh
dekat dengan sungai yang kecil dan di bawah bambu yang menyeramkan. Namun Ibu
desak selalu mensyukurinya.
Kalau
dilihat “rumahnya”, rumahnya dibangun sendiri tanpa ada bantuan dari orang
lain. Dengan peralatan seadanya, yang didapatkan dari mencari di tempat sampah
seperti plastik dan tali sedangkan kayu dia dapat dari rumah warga dan apabila
diberikan kayu dia minta tetapi sebelumnya dia membantunya dengan membersihkan
halaman atau mencuci piring. Dalam pembuatan rumahnya dia menggunakan kayu
sebagai pondasinya (saka) dan penyangga atapnya terbuat dari bambu-bambu yang
disambung dengan hanya menggunakan tali seadanya, baik tali dari kain yang
dipungut, tali rapia atau pun tali dari bambu. Untuk menutupi lubang dari bambu
digunakan plastik, dan sedikit seng yang didapat dari warga. Temboknya hanya terbuat dari plastik-plastik
bekas dan tanpa pintu. Ketika malam hari di dalam rumahnya tidak menggunakan
lampu listrik namun menggunakan lampu sintir seperti zaman dahulu. Menilik ke bawah lantai rumahnya tidak
seperti rumah sekarang ini yang berisi keramik namun tidak menggunakan apa-apa,
alami tanah. Sehingga ketika hujan turun rumahnya becek karena banyak atap
rumahnya yang bocor. Tidak hanya becek pakaian yang dimiliki dia dan anaknya
pun basah karena dia tidak mempunyai almari, dia hanya menaruh di samping
tempat tidurnya. Sungguh menyedihkan, bahkan dia mengatakan dia pasrah dengan
keadaan ini, apalagi pada saat hujan angin, semua plastik-plastik yang
digunakan sebagai tembok di rumahnya berterbangan dia hanya mampu memeluk
anaknya biar anaknya tidak ketakutan.
Pekerjaan
dari ibu Desak Ketut Sayang hanyalah seorang penjual kayu entegan yang dijual
500 pesel seharga 5000 rupiah. Dia juga
tidak sungkan apabila penduduk di sana menyuruhnya mencuci piring, baju atau
menyapu dengan imbalan diberikan nasi atau uang. Biasanya uang yang dikumpulkan
dalam kesehariannya tidak menentu, kadangkala dapat dan kadangkala tidak. Namun
dia selalu berusaha, mendapatkan uang untuk membiayai anaknya sekolah yang
sekarang sudah kelas 6 SD. Dia merupakan ibu yang sangat tegar. Ketika malam
hari dia menemani anaknya belajar, karena di rumahnya tidak terdapat lampu
listrik anaknya belajar menggunakan damar sintir dan ibunya membantu dengan
memegang damar sintir agar apa yang dipelajari anaknya dapat dilihat
Itulah
bagaimana nasib kehidupan seorang ibu yang hidup dengan seorang anaknya. Serba
kekurangan dan semoga melalui artikel ini kita mampu mengahargai jerih payah
seorang ibu demi anaknya dan lebih memaknai artin dari sebuah kehidupan.