Cari dengan google

25 Des 2012

Hidup Seorang Ibu dan Anak

  Hidup Seorang Ibu dan Anak  .
Ibu Desak Ketut Sayang berusia 46 tahun yang hidup dengan anaknya disebuah rumah kecil. Ketika saya datang ke rumahnya dia sedang makan nasi basi yang diberikan oleh tetangganya kemarin, dia mengatakan kasian kalau dibuang. Tidak hanya itu nasinya tidak berisi lauk apapun hanya nasi basi dan minumnya dia mengambil di sungai dan direbus. Dia tidak menghiraukan air itu bekas cucian siapa yang penting dia dapat minum air. Ibu Desak Ketut Sayang berasal dari Br. Tegallinggah, Desa Bedulu, Kec. Blahbatuh, Kab. Gianyar yang dinikahi oleh seorang laki-laki bernama Dewa Made Sugi yang berasal dari Br. Tusari, Bitra. Namun pada usia 40 tahun Dewa Made Sugi meninggal karena kanker yang dideritanya. Sejak kematian suaminya, hidup Desak Ketut Sayang mulai diguncang masalah, dimulai dari  anaknya yang  sering dipukul oleh mertuanya sehingga anaknya menangis menahan rasa sakit.  Dari saat itulah melihat anaknya sering menangis, dia berencana kembali ke rumahnya di Tegallinggah. Namun, masalah ke dua muncul  adiknya menentang dia untuk tinggal di rumah aslinya. Jalan keluar pun datang, dia meminjam sedikit tanah milik saudaranya untuk tempat tinggal dia dan anaknya. Tanahnya berada di tempat yang kumuh dekat dengan sungai yang kecil dan di bawah bambu yang menyeramkan. Namun Ibu desak selalu mensyukurinya.
Kalau dilihat “rumahnya”, rumahnya dibangun sendiri tanpa ada bantuan dari orang lain. Dengan peralatan seadanya, yang didapatkan dari mencari di tempat sampah seperti plastik dan tali sedangkan kayu dia dapat dari rumah warga dan apabila diberikan kayu dia minta tetapi sebelumnya dia membantunya dengan membersihkan halaman atau mencuci piring. Dalam pembuatan rumahnya dia menggunakan kayu sebagai pondasinya (saka) dan penyangga atapnya terbuat dari bambu-bambu yang disambung dengan hanya menggunakan tali seadanya, baik tali dari kain yang dipungut, tali rapia atau pun tali dari bambu. Untuk menutupi lubang dari bambu digunakan plastik, dan sedikit seng yang didapat dari warga.  Temboknya hanya terbuat dari plastik-plastik bekas dan tanpa pintu. Ketika malam hari di dalam rumahnya tidak menggunakan lampu listrik namun menggunakan lampu sintir seperti zaman dahulu.  Menilik ke bawah lantai rumahnya tidak seperti rumah sekarang ini yang berisi keramik namun tidak menggunakan apa-apa, alami tanah. Sehingga ketika hujan turun rumahnya becek karena banyak atap rumahnya yang bocor. Tidak hanya becek pakaian yang dimiliki dia dan anaknya pun basah karena dia tidak mempunyai almari, dia hanya menaruh di samping tempat tidurnya. Sungguh menyedihkan, bahkan dia mengatakan dia pasrah dengan keadaan ini, apalagi pada saat hujan angin, semua plastik-plastik yang digunakan sebagai tembok di rumahnya berterbangan dia hanya mampu memeluk anaknya biar anaknya tidak ketakutan.
Pekerjaan dari ibu Desak Ketut Sayang hanyalah seorang penjual kayu entegan yang dijual 500 pesel seharga 5000 rupiah.  Dia juga tidak sungkan apabila penduduk di sana menyuruhnya mencuci piring, baju atau menyapu dengan imbalan diberikan nasi atau uang. Biasanya uang yang dikumpulkan dalam kesehariannya tidak menentu, kadangkala dapat dan kadangkala tidak. Namun dia selalu berusaha, mendapatkan uang untuk membiayai anaknya sekolah yang sekarang sudah kelas 6 SD. Dia merupakan ibu yang sangat tegar. Ketika malam hari dia menemani anaknya belajar, karena di rumahnya tidak terdapat lampu listrik anaknya belajar menggunakan damar sintir dan ibunya membantu dengan memegang damar sintir agar apa yang dipelajari anaknya dapat dilihat
Itulah bagaimana nasib kehidupan seorang ibu yang hidup dengan seorang anaknya. Serba kekurangan dan semoga melalui artikel ini kita mampu mengahargai jerih payah seorang ibu demi anaknya dan lebih memaknai artin dari sebuah kehidupan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar